Review Jurnal 1:
ANALISIS
ASPEK TEKNIS DAN FINANSIAL ALAT TANGKAP TONDA DI TPI WATUKARUNG KABUPATEN
PACITAN
Watukarung merupakan salah satu dari tujuh TPI yang
berada di Kabupaten Pacitan dan menjadi pusat pendaratan ikan di Kecamatan
Pringkuku. Hasil tangkapan yang didaratkan di TPI Watukarung antara lain
Tongkol, Lobster, Banyar, Layur, Kakap Merah, Keting, Pari, Kuningan dan ikan
ekomonis penting lainya. Salah satu teknik penangkapan ikan yang umum digunakan
oleh masyarakat nelayan adalah pancing tonda, karena konstruksinya sederhana,
menggunakan umpan buatan dan mudah dioperasikan. Pancing tonda yang utuh
merupakan gabungan tiga komponen yaitu, wire leader atau trace,
tali utama (main line) dan backing cord. ketiga komponen ini
memiliki fungsi berbeda. Tonda yang digunakan oleh Nelayan di Desa Watukarung
merupakan tonda yang terdiri dari 1 main line. Tonda di Desa Watukarung
termasuk klasifikasi tonda karena metode pengoperasian yang sama seperti tonda.
Tonda hanya terdiri dari satu tali utama, berbeda dengan tonda pada umumnya
yang meliliki lebih dari satu tali utama. Pada alat tangkap Tonda mengandalkan
kekuatan tangan untuk menggulung roller. Alat tangkap tersebut melakukan
operasi penangkapan selama satu hari atau miang dengan lama operasi 6-8 jam.
Mayoritas komoditas perikanan di Samudera Hindia tepatnya perairan sekitar
Kabupaten Pacitan adalah ikan pelagis besar.
Target tangkapan dari alat tangkap Tonda ini adalah
ikan tengiri (Scomberomorus sp), Kuwe (Caranx sp), barakuda (Sphyraena
sp). Pada alat tangkap tonda, hook merupakan bagian yang sangat
penting dalam proses penangkapan. Analisis finansial yang digunakan adalah NPV
yang merupakan selisih antara present value dari investasi dan nilai
sekarang dari penerimaan kas bersih (arus kas operasional maupun kas terminal)
dimasa yang akan datang. Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah unit
usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap Tonda yang mendaratkan hasil
tangkapannya di TPI Watukarung Kabupaten Pacitan. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif yang digunakan untuk
mengumpulkan informasi tentang aktivitas penangkapan ikan menggunakan pancing
tonda menyangkut aspek teknis serta aspek ekonomis dari usaha perikanan
tangkap. Data yang diambil dalam penelitian adalah data primer dan sekunder.
Perahu yang digunakan untuk mengoperasikan Eretan
adalah perahu mancung yang terbuat dari bahan fiber dengan ukuran panjang 3,5
m, lebar 0,8 m dan tinggi 0,4 m. Main line Eretan dibagi menjadi dua
bagian dengan nomor benang yang berbeda. pada main line menggunakan
benang No. 2000 yang memiliki diameter 2 mm dengan panjang 450 m dan benang
No.1500 dengan diameter 1,5 mm dengan panjang 3 m yang langsung terhubung
dengan sekiyama pada ujung benang. Umpan alami yang digunakan terdiri dari ikan
tongkol yang dipotong-potong sedangkan umpan buatan nelayan membuat sendiri
dari benang yang berkilau atau benang emas dan benang silver. Umumnya nelayan
Watukarung memulai operasi penangkapan Tonda pada pukul 05.30 wib hingga pukul
10.00 WIB. Pada musim puncak nelayan melakukan operasi penangkapan 2 trip per
hari pada pukul 05.30 WIB – 10.00 WIB dan melaut kempali pada pukul 13.00 WIB –
17.00 WIB.
Hook dan roller pada
alat tangkap yang digunakan nelayan Tonda di TPI Watukarung merupakan buatan
nelayan sendiri. Hal itu dilakukan guna meminimalisir pengeluaran karena
pengeluaran terbesar pada alat tangkap ada pada hook. Biaya tidak tetap
adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan tingkat
produksi. Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present
value kas bersih dengan present value investasi selama umur
investasi. Return Cost Ratio (R/C) diperoleh dari hasil perhitungan
antara jumlah sekarang dari pendapatan dan nilai sekarang dari biaya, sepanjang
usaha tersebut berjalan. PP pada usaha perikanan tangkap Eretan di TPI
watukarung menunjukkan bahwa waktu pengembalian modal atau investasi yang
cepat. Rata-rata lama waktu pengembalian modal adalah 12,6 bulan. Pada perahu
mancung yang digunakan berbahan dasar fiber. Pada suatu kapal dioperasikan
sejumlah tali pancing tonda. Masing-masing tali pancing tonda itu dapat terdiri
dari sejumlah mata pancing, mata pancing-mata pancing tersebut ditautkan pada
tali-tali pancing tonda tersebut. Pada musim tenggiri nelayan menggunakan umpan
tongkol sepenuhnya karena mudah dicari dan jumlahnya berlimpaah. Sedangkan
untuk umpan buatan nelayan jarang menggunakannya kecuali memang umpan alami
sulit didapatkan.
Umpan asli yang biasanya dipakau pada alat tangkap
tonda, rawai, maupun tuna long line terdiri dari berbagai jenis ikan
(seperti lemuru, tembang, bandeng dan potongan ikan tuna, cakalang dan tongkol)
yang berukuran 15-20 cm atau ikan besar yang telah dipotong-potong disesuaikan
dengan besar mata pancing yang digunakan. Pada tingkat pendidikan, nelayan
Eretan di Watukarung Dari total 25 nelayan yang paling banyak adalah tingkatan
sd yaitu 13 orang dan tidak tamat sekolah 2 orang karena alasan ekonomi. Umur
merupakan salah satu faktor penting untuk mengetahui kinerja dan kemampuan
seseorang dalam melakukan pekerjaan. Umur juga dapat mencerminkan tingkat
kedewasaan seseorang. Dengan biaya total Rp 118.046,- per trip, keuntungan yang
bisa didapatkan adalah Rp 51.111,-. Keuntungan tersebut sudah jauh lebih besar
dari biaya total yang dikeluarkan per trip. Untuk melakukan penghematan nelayan
membuat sendiri hook dan roller. Tonda dengan hook dan roller
buatan nelayan hanya membutuhkan biaya Rp 439.000,- pertahun. Untuk
menentukan tingkat kelayakan usaha yang memiliki umur ekonomis proyek lebih
dari 5 tahun dimasukkan dalam kriteria discounted, maka sebagai
indikator digunakan NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of
Return), R/C Ratio, dan PP (Payback Periode). Bila dilihat pada
nilai masa sekarang, NPV pada usaha perikanan tangkap Tonda bernilai positif,
sehingga membuktikan bahwa usaha penangkapan ikan ini layak diteruskan karena
pada akhir proyek usaha perikanan tangkap Tonda akan memperoleh keuntungan
sebesar Rp 17.971.575,- bila dilihat pada nilai masa sekarang.
Review
Jurnal 2 :
PENGARUH UMPAN BUATAN
TERHADAP HASIL TANGKAPAN PANCING LAYANG-LAYANG DI SELAT BANGKA
Salah satu sumberdaya perikanan ekonomis pen-ting yang dihasilkan
dari perairan Sulawesi Utara adalah ikan cendro (Tylosurus sp), dan
dikenal dengan nama lokal sebagai ikan sako. Menurut FAO (1995), karakteristik pemanfa-atan sumberdaya
hayati laut yang ramah lingkung-an, meliputi: selektivitas tinggi, hasil
tangkapan sampingan rendah, tidak merusak lingkungan. tidak menangkap spesies
yang dilindungi, peng-operasian alat tidak membahayakan nelayan, dan tidak
beroperasi di daerah terlarang. Hasil wawancara dengan nelayan di Selat Bangka
menyebutkan bahwa jaring insang dapat menangkap ikan cendro lebih banyak,
tetapi ting-kat kerusakan jaring cukup tinggi karena tersang-kut karang, dan
untuk memperbaikinya membu-tuhkan waktu selama tiga hari; sehingga alternatif
pilihan yang memadai adalah menggunakan pan-cing layang-layang (kite fishing).
Pancing layang-layang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan cendro
di perairan Selat Bangka Kabupaten Minahasa Utara, karena kontruksinya
sederhana, relatif murah dan mudah dioperasikan dengan perahu ukuran kecil. Kite
fishing adalah memancing dari perahu dengan menggunakan layang-layang untuk
menjauhkan umpan pada jarak tertentu dari perahu; juga untuk menjaga umpan agar
tetap berada di permukaan air, karena teknik ini biasanya dilakukan untuk
menangkap ikan-ikan permukaan.
Pancing layang-layang diklasifikasikan dalam pan-cing ulur yaitu
pancing yang dioperasikan dengan bantuan layang-layang. Berdasarkan klasifikasi
standar internasional terhadap alat tangkap ikan dan beberapa contoh alat
tangkap ikan dengan kode LX.09.9.0. Pancing layang-layang merupakan alat
tangkap ikan cendro tradisional, yang hanya menggunakan bahan dan alat
sederhana, tetapi mudah dioperasi-kan dengan hanya menggunakan perahu ukuran
kecil, dan dapat diintroduksi sebagai obyek wisata bahari yang menarik. Secara
umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi pemanfaatan sumber-daya
perikanan ikan cendro yang ramah lingkung-an dan berkelanjutan; dan secara
khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari pengaruh jenis umpan
buatan terhadap hasil tangkapan ikan cendro dengan pancing layang-layang; dan
(2) mengidentifikasi jenis-jenis ikan cendro yang ter-tangkap dengan pancing
layang-layang. Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti metode eksperimental
yaitu suatu rancangan percobaan yang diujicobakan untuk memperoleh informasi
tentang persoalan yang sedang diteliti. Teknik pengumpulan data untuk mendekati
tujuan pertama yang telah ditetapkan, yaitu mem-pelajari pengaruh umpan buatan
terhadap hasil tangkapan, dilakukan dengan mengoperasikan 4 unit alat tangkap
pancing layang-layang.
Penggulung tali terbuat dari bahan plastik berbentuk bulat dengan
diameter 12 cm, berfungsi sebagai tempat untuk menggulung tali pancing dan
pegangan pada waktu pengoperasian alat. Joran atau tangkai pancing adalah
bagian alat tangkap yang berfungsi sebagai media tempat dilaluinya tali ulur untuk
menaikkan layang-layang; terbuat dari bambu (bulu tui) dengan panjang
sekitar 4 m; berdiameter 5 cm pada bagian pangkal dan 1 cm pada bagian ujung,
yang dipasangi cincin sebagai tempat lewat tali utama. Layang-layang yang
digunakan secara tradisional untuk menangkap ikan cendro di Selat Bangka adalah
daun kiter (Polypodium quercifollum). Tali utama (tali ulur)
terbuat dari nylon polyamide monofilament (PA mono) nomor 250,
dengan panjang 200 m. Tali jerat juga dari nylon polyamide monofilament (PA
mono) nomor 250; dibentuk melingkar menggunakan simpul laso, yang
dimasukkan ke dalam tubuh ikan umpan alami, sedangkan pada umpan buatan cara
memasukan sama seperti umpan alami yang sudah dirancang sedemikian rupa agar
dapat menyerupai umpan alami.
Perahu penangkap yang digunakan adalah tipe pelang empat unit
dengan mesin katinting 5,5 PK; dimensi utama perahu pertama: panjang 5,5 m,
lebar 0,43 m, tinggi 0,65 m; perahu kedua: panjang 5,30 m, lebar 0,41 m, tinggi
0,62 m; perahu ketiga: panjang 5,8 m, tinggi 0,30 m, lebar 0,30 m; perahu
keempat: panjang 5,9 m, tinggi 0,37 m, dan lebar 0,42 m. Kegiatan-kegiatan yang
dilakukan sebelum be-rangkat ke daerah operasi adalah mempersiapkan segala
sesuatu yang berhubungan dengan operasi penangkapan yaitu dimulai dari menyiapkan
daun kiter yang akan digunakan sebagai layang-layang dalam pengoperasian
alat tangkap ini. Daerah penangkapan pancing layang-layang dilakukan pada enam
ruang, yaitu 1) napo putus dengan posisi geografis sekitar 1042’28.72” N
dan 12501’50.43” E; 2) napo ila 1042’50.97” N dan 12502’1.32” E; 3) napo
paser1042’31.19” N dan 12502’16.24” E; 4) napo panjang 1041’36.29” N
dan 12502’42.32” E; 5) napo manu 1041’33.37” N dan 12502’42.32” E, serta
napo daun 1041’12.27” N dan 12503’15.94” E.
Tiupan angin merupakan faktor yang penting, layangan dengan jerat
yang sudah berumpan, diterbangkan melalui bantuan tangkai joran dan angin,
kemudian diulur perlahan-lahan sampai pada jarak yang diinginkan (15-30 m);
tetapi tetap menjaga jerat berumpan di permukaan air dan tidak terangkat ke
udara. Ketika terasa umpan dimakan ikan cendro, maka joran disentak sehingga
rahang bagian atas ikan terjerat; tali pancing ditarik ke perahu sampai ikan
tertangkap. Ikan dilepaskan dengan memo-tong tali utama secara serong
meruncing. Hasil tangkapan pancing layang-layang selama penelitian berjumlah 40
ekor ikan cendro dan hanya jenis Tylosurus crocodilus; sebanyak 22 ekor
tertangkap dengan umpan alami dan 18 ekor tertangkap dengan umpan buatan. Hasil
analisis menunjukkan bahwa t hitung = 0,38 < t tabel 0,05;5 = 2,571;
sehingga menerima H0 dan menolak H1, di mana hal ini ini menjelaskan bahwa
penggunaan umpan alami tidak berbeda nyata dengan umpan buatan pada pancing
layang-layang untuk menangkap ikan cendro di perairan Selat Bangka. Kecepatan
angin diukur secara sederhana dengan menerbangkan kertas timah rokok yang
diikat dengan tali monofilament nomor 6 sepanjang 5 m. Kecepatan angin juga
merupakan faktor yang sangat penting; karena jika angin terlalu lemah, layangan
tidak dapat naik ke udara untuk mengangkat umpan; sebaliknya jika angin terlalu
kuat, layangan terbang tinggi dan dapat berputar-putar, sehingga ikan tidak
tertangkap. Berdasarkan jumlah hasil tangkapan pancing layang-layang, maka
umpan alami relatif lebih banyak (22 ekor) dibandingkan dengan umpan buatan (18
ekor), tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Diakui bahwa pemasangan
tali laso pada umpan buatan relatif lebih lama dari pada umpan buatan, dan
konstruksinya masih perlu penyempurnaan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Wijaksono,Bayu Putra Nur. Abdul
Kohar Mudzakir. Pramonowibowo. 2014.
Analisis Aspek Teknis dan Finansial Alat Tangkap Tonda di TPI Watukarung
Kabupaten Pacitan. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and
Technology.3 (3):183-189.
La
Sudiono. Emil Reppie. Alfret Luasunaung. 2015. Pengaruh
umpan buatan terhadap hasil tangkapan pancing layang-layang di Selat Bangka. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2: 6-12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar