Minggu, 25 November 2018

SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN DAN SKAT


ABSTRAK

Bimo Silar Sanhajik. 26010315120001. Sistem Pemantauan Kapal Perikanan dan Surat Keterangan Aktivasi Transmitter.

Sistem pemantauan kapal perikanan adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan dan/atau pegangkut ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan. Surat Keterangan Aktivasi Transmitter atau yang biasa disingkat SKAT merupakan dokumen tertulis yang menyatakan bahwa transmitter Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) online pada kapal perikanan tertentu telah dipasang, diaktifkan, dan dapat dipantau pada pusat pemantauan kapal perikanan. Tahap aktivitas patroli laut pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di Pangkalan PSDKP Jakarta dikelompokkan menjadi 5 (lima) tahap aktivitas pokok (level 0). Tahap tersebut antara lain (1) persiapan, (2) loading, (3) pelayaran dan pengawasan di laut, (4) penghentian, pemeriksaan dan penahanan, dan (5) kembali ke Pangkalan (homebase). dalam kegiatan pengawasan juga harus terdapat keterlibatan awak kapal pada aktivitas pelayaran dan pengawasan agar potensi terjadinya risiko kecelakaan kerja terbesar akibat intensitas kerja yang tinggi dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Sehingga perlu adanya tanggungjawab yang besar dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai pengawas sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia.


Kata kunci: Sistem Pemantauan Kapal Perikanan, Surat Keterangan Aktivasi Transmitter, Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan.



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
  Penangkapan ikan secara ilegal atau Illegal fishing merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Illegal fishing menyebabkan banyak kerugian baik dari aspek ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengatasi permasalahan illegal fishing. Salah satunya adalah dengan diperkuat oleh perangkat teknologi canggih yang dikenal dengan Vessel Monitoring System (VMS) atau Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP). Penggunaan VMS juga merupakan bentuk komitmen Indonesia memenuhi ketentuan internasional, regional, maupun nasional dalam hal konservasi dan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Sejak tahun 2003, VMS telah diterapkan dengan memasang alat pemancar atau transmiter pada kapal-kapal perikanan berukuran di atas 30 GT. Selain untuk mengetahui pergerakan kapal-kapal perikanan, VMS juga memastikan kepatuhan (compliance) kapal perikanan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan disebutkan bahwa setiap kapal perikanan berukuran lebih dari 30 GT yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dan di laut lepas wajib memasang transmiter VMS. Hal ini sangat penting diterapkan untuk mendukung terwujudnya kelestarian sumber daya perikanan, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan VMS di Indonesia melibatkan 3 (tiga) pihak, yakni pemerintah, dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) KKP, sebagai penyelenggara dan hanya menyediakan sistem saja, dan tidak menyediakan transmiter dan layanan jasa satelit, Pelaku Usaha/Pemilik kapal perikanan, selaku Pengguna, dan Penyedia, yaitu perusahaan yang menyediakan transmiter VMS dan layanan jasa satelit. Transaksi pembelian transmiter VMS dan pembayaran jasa layanan satelit berupa airtime dilakukan langsung antara pihak Pengguna dengan pihak Penyedia.

1.2         Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dibuat beberapa rumusan masalah seperti:
1.       Apa pengertian Sistem Pematauan Kapal Perikanan ?
2.             Apa pengertian Surat Keterangan Aktivasi Transmitter ?
3.             Bagaimana aktivitas pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia ?
4.             Bagaimana tanggngjawab awak kapal pada intensitas kerja pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia ?

1.3         Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, yaitu:
1.       Untuk mengetahui pengertian Sistem Pematauan Kapal Perikanan.
2.             Untuk mengetahui pengertian Surat Keterangan Aktivasi Transmitter.
3.             Untuk mengetahui aktivitas pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia.
4.       Untuk mengetahui tanggungjawab awak kapal pada intensitas kerja pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia.

       

BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Pengertian Sistem Pematauan Kapal Perikanan     
Sistem pemantauan kapal perikanan adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan dan/atau pegangkut ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan. Sistem pemantauan kapal perikanan merupakan salah satu bentuk sistem pemantauan untuk mendukung pengawasan di bidang penangkapan dan atau pengangkutan ikan, dengan menggunakan satelit dan peralatan pemancar (transmitter) VMS yang ditempatkan pada kapal perikanan guna mempermudah pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan / aktivitas kapal. VMS merupakan program pengawasan kegiatan perikanan, yang menggunakan peralatan yang terpasang di kapal perikanan untuk memberi informasi mengenai kegiatan dan posisi kapal.
Pengertian Sistem Pemantauan Kapal Perikanan menurut FAO (2009) dalam Hadinata (2010), sistem pemantauan kapal perikanan adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan dan/atau pegangkut ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan. Sistem pemantauan kapal perikanan/Vessel Monitorig System (VMS) adalah sebuah program pengawasan kegiatan perikanan, yang menggunakan peralatan yang terpasang di kapal perikanan untuk memberi informasi mengenai kegiatan dan posisi kapal. Hal ini juga diperkuat oleh Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (2012) dalam Nugroho et al. (2013), VMS atau sistem pemantauan kapal perikanan merupakan salah satu bentuk sistem pemantauan untuk mendukung pengawasan di bidang penangkapan dan atau pengangkutan ikan, dengan menggunakan satelit dan peralatan pemancar (transmitter) VMS yang ditempatkan pada kapal perikanan guna mempermudah pengawasan dan pemantauan terhadap kegiatan / aktivitas kapal.

2.2     Pengertian Surat Keterangan Aktivasi Transmitter
            Surat Keterangan Aktivasi Transmitter atau yang biasa disingkat SKAT merupakan dokumen tertulis yang menyatakan bahwa transmitter Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) online pada kapal perikanan tertentu telah dipasang, diaktifkan, dan dapat dipantau pada pusat pemantauan kapal perikanan. Setiap kapal perikanan dengan ukuran > 30 GT yang beroperasi di WPP- NRI atau di laut lepas yang akan mengajukan SIPI atau SIKPI wajib memasang transmitter SPKP online. Pada setiap pemasangan transmitter di kapal perikanan akan diterbitkan surat keterangan pemasangan transmitter yang dibuat oleh pengawas perikanan. Setelah mendapat surat pemasangan transmitter akan diterbitkan sebuah bukti berupa surat yang disebut SKAT.
            Pengertian Surat Keterangan Aktivasi Transmitter menurut PERMEN-KP (2013) dalam TEL (2017), setiap kapal perikanan dengan ukuran > 30 GT yang beroperasi di WPP- NRI atau di laut lepas yang akan mengajukan SIPI atau SIKPI wajib memasang transmitter SPKP online. Pada setiap pemasangan transmitter di kapal perikanan akan diterbitkan surat keterangan pemasangan transmitter yang dibuat oleh pengawas perikanan. Setelah mendapat surat pemasangan transmitter akan diterbitkan sebuah bukti berupa surat yang disebut SKAT. SKAT adalah memiliki kepanjangan Surat Keterangan Aktivasi Transmiter merupakan dokumen tertulis yang menyatakan bahwa transmitter SPKP online pada kapal perikanan tertentu telah dipasang, diaktifkan dan dapat dipantau.

2.3     Aktivitas Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Indonesia
Kegiatan patroli pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan merupakan bagian dari pengelolaan perikanan di Indonesia yang dilakukan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dan dioperasikan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT)/Satuan Kerja dan Dinas Kelautan dan Perikanan yag berada di daerah. Pengawasan perikanan adalah kegiatan pengawasan yang bersifat teknis biologis terhadap kegiatan pembudidayaan, penangkapan dan pengolahan mutu hasil perikanan agar konsisten dalam penerapan standar teknologi dan peraturan terkait.
Aktivitas atau kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia menurut Ishak (2015), Pelaksanaan pengawasan penangkapan ikan dilakukan salah satunya dengan memeriksa dokumen-dokumen terkait perizinan seperti surat izin usaha perikanan, surat izin penangkapan ikan, dan surat izin pengangkutan ikan. Pemeriksaan perizinan tersebut dilakukan dengan mengadakan identifikasi dan verifikasi usaha penangkapan ikan terhadap perusahaan penangkap ikan yang mengoperasikan kapal perikanan yang berasal dari luar negeri, baik diperoleh melalui impor maupun dengan cara lelang/ keputusan pengadilan.Hal ini juga diperkuat oleh Aji et al. (2016), Tahap aktivitas patroli laut pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di Pangkalan PSDKP Jakarta dikelompokkan menjadi 5 (lima) tahap aktivitas pokok (level 0). Tahap tersebut antara lain (1) persiapan, (2) loading, (3) pelayaran dan pengawasan di laut, (4) penghentian, pemeriksaan dan penahanan, dan (5) kembali ke Pangkalan (homebase).

2.4     Tanggungjawab Awak Kapal pada Intensitas Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Indonesia.
Setiap aktivitas yang melibatkan jumlah awak kapal, area kerja dan energi akan berisiko menimbulkan bahaya. Dalam kegiatan pengawasan, aktivitas primer merupakan aktivitas yang harus dilakukan pada urutan tahapannya karena mempengaruhi keberhasilan proses untuk mencapai tujuan, sedangkan aktivitas sekunder tidak harus dilakukan sesuai urutannya karena bersifat opsional. Dan dalam kegiatan pengawasan juga harus terdapat keterlibatan awak kapal pada aktivitas pelayaran dan pengawasan agar potensi terjadinya risiko kecelakaan kerja terbesar akibat intensitas kerja yang tinggi dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Sehingga perlu adanya tanggungjawab yang besar dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai pengawas sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia.
Tanggungjawab awak kapal pada intensitas kerja pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan di indonesia menurut Aji et al. (2016), Intensitas kerja yang dibutuhkan untuk keseluruhan aktivitas membutuhkan usaha kerja atau keterlibatan awak speedboat pengawasan setara dengan 244 OA (Orang Aktivitas). Intensitas kerja primer (IKP) yang paling besar terjadi pada tahap 3 (pelayaran dan pengawasan di laut) yang menunjukkan level aktivitas paling tinggi dengan indek IKP yaitu 0.29 dari seluruh aktivitas patroli laut pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan. Keterlibatan awak kapal pada aktivitas pelayaran dan pengawasan di laut adalah yang tertinggi yaitu 68 OA, sehingga memiliki potensi terjadinya risiko kecelakaan kerja terbesar akibat intensitas kerja yang tinggi dibandingkan dengan aktivitas lainnya.
 


BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, kesimpulan yang dapat diambil yaitu :
1.             Sistem pemantauan kapal perikanan adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang penangkapan dan/atau pegangkut ikan, yang menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan yang telah ditentukan.
2.             Surat Keterangan Aktivasi Transmitter atau yang biasa disingkat SKAT merupakan dokumen tertulis yang menyatakan bahwa transmitter Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) online pada kapal perikanan tertentu telah dipasang, diaktifkan, dan dapat dipantau pada pusat pemantauan kapal perikanan.
3.              Tahap aktivitas patroli laut pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di Pangkalan PSDKP Jakarta dikelompokkan menjadi 5 (lima) tahap aktivitas pokok (level 0). Tahap tersebut antara lain (1) persiapan, (2) loading, (3) pelayaran dan pengawasan di laut, (4) penghentian, pemeriksaan dan penahanan, dan (5) kembali ke Pangkalan (homebase).
4.              dalam kegiatan pengawasan juga harus terdapat keterlibatan awak kapal pada aktivitas pelayaran dan pengawasan agar potensi terjadinya risiko kecelakaan kerja terbesar akibat intensitas kerja yang tinggi dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Sehingga perlu adanya tanggungjawab yang besar dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai pengawas sumberdaya kelautan dan perikanan di Indonesia.

4.2         Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, saran yang dapat diberikan yaitu :
1.       Sebaiknya dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan perlu adanya pemantauan lebih lajut agar kegiatan tersebut bisa berjalan lancar dan pihak yang melaksanakan tugas tersebut bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
2.       Sebaiknya dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan perlu adanya peningkatan komunikasi dengan awak kapal nelayan yang bekerja, sehingga kegiatan pegawasan sumberdaya kelautan dan perikanan bisa berjalan dengan baik dan potensi terjadinya risiko kecelakaan kerja terbesar akibat intensitas kerja yang tinggi bisa diminimalisir     


DAFTAR PUSTAKA

Aji, S. P., B. H. Iskandar, dan F. Purwangka. 2016. Intensitas Kerja Pengawas Perikanan pada Aktivitas Patroli Laut Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Jakarta. 7(2) : 163-178.

Hadinata, Y. 2010. Pelaksanaan Vessel Monitoring System (VMS) di Indonesia. Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap. Departemen Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ishak, N. 2015. Pengawasan Penangkapan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Bagian Hukum Adiministrasi Negara. Fakultas Hukum. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Nugroho, H., A. Sufyan, dan R. Akhwady. 2013. Integrasi Sistem Elektronik Log Book Penangkapan Ikan (ELPI) dengan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (VMS) untuk Pembangunan Perikanan Berkelanjutan. 8(3) : 101-110.

Tel, S. 2017. Komposisi Hasil Tangkapan dan Daerah Penangkapan oleh Kapal Purse Seine berdasarkan Vessel Monioring System (VMS) di WPP 571 Selat Malaka. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sriwijaya. Indralaya.

Review Jurnal Metode Penangkapan Ikan


Review Jurnal 1:

ANALISIS ASPEK TEKNIS DAN FINANSIAL ALAT TANGKAP TONDA DI TPI WATUKARUNG KABUPATEN PACITAN
Watukarung merupakan salah satu dari tujuh TPI yang berada di Kabupaten Pacitan dan menjadi pusat pendaratan ikan di Kecamatan Pringkuku. Hasil tangkapan yang didaratkan di TPI Watukarung antara lain Tongkol, Lobster, Banyar, Layur, Kakap Merah, Keting, Pari, Kuningan dan ikan ekomonis penting lainya. Salah satu teknik penangkapan ikan yang umum digunakan oleh masyarakat nelayan adalah pancing tonda, karena konstruksinya sederhana, menggunakan umpan buatan dan mudah dioperasikan. Pancing tonda yang utuh merupakan gabungan tiga komponen yaitu, wire leader atau trace, tali utama (main line) dan backing cord. ketiga komponen ini memiliki fungsi berbeda. Tonda yang digunakan oleh Nelayan di Desa Watukarung merupakan tonda yang terdiri dari 1 main line. Tonda di Desa Watukarung termasuk klasifikasi tonda karena metode pengoperasian yang sama seperti tonda. Tonda hanya terdiri dari satu tali utama, berbeda dengan tonda pada umumnya yang meliliki lebih dari satu tali utama. Pada alat tangkap Tonda mengandalkan kekuatan tangan untuk menggulung roller. Alat tangkap tersebut melakukan operasi penangkapan selama satu hari atau miang dengan lama operasi 6-8 jam. Mayoritas komoditas perikanan di Samudera Hindia tepatnya perairan sekitar Kabupaten Pacitan adalah ikan pelagis besar.
Target tangkapan dari alat tangkap Tonda ini adalah ikan tengiri (Scomberomorus sp), Kuwe (Caranx sp), barakuda (Sphyraena sp). Pada alat tangkap tonda, hook merupakan bagian yang sangat penting dalam proses penangkapan. Analisis finansial yang digunakan adalah NPV yang merupakan selisih antara present value dari investasi dan nilai sekarang dari penerimaan kas bersih (arus kas operasional maupun kas terminal) dimasa yang akan datang. Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah unit usaha penangkapan ikan dengan alat tangkap Tonda yang mendaratkan hasil tangkapannya di TPI Watukarung Kabupaten Pacitan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang aktivitas penangkapan ikan menggunakan pancing tonda menyangkut aspek teknis serta aspek ekonomis dari usaha perikanan tangkap. Data yang diambil dalam penelitian adalah data primer dan sekunder.
Perahu yang digunakan untuk mengoperasikan Eretan adalah perahu mancung yang terbuat dari bahan fiber dengan ukuran panjang 3,5 m, lebar 0,8 m dan tinggi 0,4 m. Main line Eretan dibagi menjadi dua bagian dengan nomor benang yang berbeda. pada main line menggunakan benang No. 2000 yang memiliki diameter 2 mm dengan panjang 450 m dan benang No.1500 dengan diameter 1,5 mm dengan panjang 3 m yang langsung terhubung dengan sekiyama pada ujung benang. Umpan alami yang digunakan terdiri dari ikan tongkol yang dipotong-potong sedangkan umpan buatan nelayan membuat sendiri dari benang yang berkilau atau benang emas dan benang silver. Umumnya nelayan Watukarung memulai operasi penangkapan Tonda pada pukul 05.30 wib hingga pukul 10.00 WIB. Pada musim puncak nelayan melakukan operasi penangkapan 2 trip per hari pada pukul 05.30 WIB – 10.00 WIB dan melaut kempali pada pukul 13.00 WIB – 17.00 WIB.
Hook dan roller pada alat tangkap yang digunakan nelayan Tonda di TPI Watukarung merupakan buatan nelayan sendiri. Hal itu dilakukan guna meminimalisir pengeluaran karena pengeluaran terbesar pada alat tangkap ada pada hook. Biaya tidak tetap adalah biaya yang jumlahnya berubah-ubah sesuai dengan perubahan tingkat produksi. Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara present value kas bersih dengan present value investasi selama umur investasi. Return Cost Ratio (R/C) diperoleh dari hasil perhitungan antara jumlah sekarang dari pendapatan dan nilai sekarang dari biaya, sepanjang usaha tersebut berjalan. PP pada usaha perikanan tangkap Eretan di TPI watukarung menunjukkan bahwa waktu pengembalian modal atau investasi yang cepat. Rata-rata lama waktu pengembalian modal adalah 12,6 bulan. Pada perahu mancung yang digunakan berbahan dasar fiber. Pada suatu kapal dioperasikan sejumlah tali pancing tonda. Masing-masing tali pancing tonda itu dapat terdiri dari sejumlah mata pancing, mata pancing-mata pancing tersebut ditautkan pada tali-tali pancing tonda tersebut. Pada musim tenggiri nelayan menggunakan umpan tongkol sepenuhnya karena mudah dicari dan jumlahnya berlimpaah. Sedangkan untuk umpan buatan nelayan jarang menggunakannya kecuali memang umpan alami sulit didapatkan.
Umpan asli yang biasanya dipakau pada alat tangkap tonda, rawai, maupun tuna long line terdiri dari berbagai jenis ikan (seperti lemuru, tembang, bandeng dan potongan ikan tuna, cakalang dan tongkol) yang berukuran 15-20 cm atau ikan besar yang telah dipotong-potong disesuaikan dengan besar mata pancing yang digunakan. Pada tingkat pendidikan, nelayan Eretan di Watukarung Dari total 25 nelayan yang paling banyak adalah tingkatan sd yaitu 13 orang dan tidak tamat sekolah 2 orang karena alasan ekonomi. Umur merupakan salah satu faktor penting untuk mengetahui kinerja dan kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan. Umur juga dapat mencerminkan tingkat kedewasaan seseorang. Dengan biaya total Rp 118.046,- per trip, keuntungan yang bisa didapatkan adalah Rp 51.111,-. Keuntungan tersebut sudah jauh lebih besar dari biaya total yang dikeluarkan per trip. Untuk melakukan penghematan nelayan membuat sendiri hook dan roller. Tonda dengan hook dan roller buatan nelayan hanya membutuhkan biaya Rp 439.000,- pertahun. Untuk menentukan tingkat kelayakan usaha yang memiliki umur ekonomis proyek lebih dari 5 tahun dimasukkan dalam kriteria discounted, maka sebagai indikator digunakan NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), R/C Ratio, dan PP (Payback Periode). Bila dilihat pada nilai masa sekarang, NPV pada usaha perikanan tangkap Tonda bernilai positif, sehingga membuktikan bahwa usaha penangkapan ikan ini layak diteruskan karena pada akhir proyek usaha perikanan tangkap Tonda akan memperoleh keuntungan sebesar Rp 17.971.575,- bila dilihat pada nilai masa sekarang.


Review Jurnal 2 :

PENGARUH UMPAN BUATAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN PANCING LAYANG-LAYANG DI SELAT BANGKA

Salah satu sumberdaya perikanan ekonomis pen-ting yang dihasilkan dari perairan Sulawesi Utara adalah ikan cendro (Tylosurus sp), dan dikenal dengan nama lokal sebagai ikan sako. Menurut FAO (1995), karakteristik pemanfa-atan sumberdaya hayati laut yang ramah lingkung-an, meliputi: selektivitas tinggi, hasil tangkapan sampingan rendah, tidak merusak lingkungan. tidak menangkap spesies yang dilindungi, peng-operasian alat tidak membahayakan nelayan, dan tidak beroperasi di daerah terlarang. Hasil wawancara dengan nelayan di Selat Bangka menyebutkan bahwa jaring insang dapat menangkap ikan cendro lebih banyak, tetapi ting-kat kerusakan jaring cukup tinggi karena tersang-kut karang, dan untuk memperbaikinya membu-tuhkan waktu selama tiga hari; sehingga alternatif pilihan yang memadai adalah menggunakan pan-cing layang-layang (kite fishing). Pancing layang-layang sering digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan cendro di perairan Selat Bangka Kabupaten Minahasa Utara, karena kontruksinya sederhana, relatif murah dan mudah dioperasikan dengan perahu ukuran kecil. Kite fishing adalah memancing dari perahu dengan menggunakan layang-layang untuk menjauhkan umpan pada jarak tertentu dari perahu; juga untuk menjaga umpan agar tetap berada di permukaan air, karena teknik ini biasanya dilakukan untuk menangkap ikan-ikan permukaan.
Pancing layang-layang diklasifikasikan dalam pan-cing ulur yaitu pancing yang dioperasikan dengan bantuan layang-layang. Berdasarkan klasifikasi standar internasional terhadap alat tangkap ikan dan beberapa contoh alat tangkap ikan dengan kode LX.09.9.0. Pancing layang-layang merupakan alat tangkap ikan cendro tradisional, yang hanya menggunakan bahan dan alat sederhana, tetapi mudah dioperasi-kan dengan hanya menggunakan perahu ukuran kecil, dan dapat diintroduksi sebagai obyek wisata bahari yang menarik. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan teknologi pemanfaatan sumber-daya perikanan ikan cendro yang ramah lingkung-an dan berkelanjutan; dan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (1) mempelajari pengaruh jenis umpan buatan terhadap hasil tangkapan ikan cendro dengan pancing layang-layang; dan (2) mengidentifikasi jenis-jenis ikan cendro yang ter-tangkap dengan pancing layang-layang. Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti metode eksperimental yaitu suatu rancangan percobaan yang diujicobakan untuk memperoleh informasi tentang persoalan yang sedang diteliti. Teknik pengumpulan data untuk mendekati tujuan pertama yang telah ditetapkan, yaitu mem-pelajari pengaruh umpan buatan terhadap hasil tangkapan, dilakukan dengan mengoperasikan 4 unit alat tangkap pancing layang-layang.
Penggulung tali terbuat dari bahan plastik berbentuk bulat dengan diameter 12 cm, berfungsi sebagai tempat untuk menggulung tali pancing dan pegangan pada waktu pengoperasian alat. Joran atau tangkai pancing adalah bagian alat tangkap yang berfungsi sebagai media tempat dilaluinya tali ulur untuk menaikkan layang-layang; terbuat dari bambu (bulu tui) dengan panjang sekitar 4 m; berdiameter 5 cm pada bagian pangkal dan 1 cm pada bagian ujung, yang dipasangi cincin sebagai tempat lewat tali utama. Layang-layang yang digunakan secara tradisional untuk menangkap ikan cendro di Selat Bangka adalah daun kiter (Polypodium quercifollum). Tali utama (tali ulur) terbuat dari nylon polyamide monofilament (PA mono) nomor 250, dengan panjang 200 m. Tali jerat juga dari nylon polyamide monofilament (PA mono) nomor 250; dibentuk melingkar menggunakan simpul laso, yang dimasukkan ke dalam tubuh ikan umpan alami, sedangkan pada umpan buatan cara memasukan sama seperti umpan alami yang sudah dirancang sedemikian rupa agar dapat menyerupai umpan alami.
Perahu penangkap yang digunakan adalah tipe pelang empat unit dengan mesin katinting 5,5 PK; dimensi utama perahu pertama: panjang 5,5 m, lebar 0,43 m, tinggi 0,65 m; perahu kedua: panjang 5,30 m, lebar 0,41 m, tinggi 0,62 m; perahu ketiga: panjang 5,8 m, tinggi 0,30 m, lebar 0,30 m; perahu keempat: panjang 5,9 m, tinggi 0,37 m, dan lebar 0,42 m. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebelum be-rangkat ke daerah operasi adalah mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan operasi penangkapan yaitu dimulai dari menyiapkan daun kiter yang akan digunakan sebagai layang-layang dalam pengoperasian alat tangkap ini. Daerah penangkapan pancing layang-layang dilakukan pada enam ruang, yaitu 1) napo putus dengan posisi geografis sekitar 1042’28.72” N dan 12501’50.43” E; 2) napo ila 1042’50.97” N dan 12502’1.32” E; 3) napo paser1042’31.19” N dan 12502’16.24” E; 4) napo panjang 1041’36.29” N dan 12502’42.32” E; 5) napo manu 1041’33.37” N dan 12502’42.32” E, serta napo daun 1041’12.27” N dan 12503’15.94” E.
Tiupan angin merupakan faktor yang penting, layangan dengan jerat yang sudah berumpan, diterbangkan melalui bantuan tangkai joran dan angin, kemudian diulur perlahan-lahan sampai pada jarak yang diinginkan (15-30 m); tetapi tetap menjaga jerat berumpan di permukaan air dan tidak terangkat ke udara. Ketika terasa umpan dimakan ikan cendro, maka joran disentak sehingga rahang bagian atas ikan terjerat; tali pancing ditarik ke perahu sampai ikan tertangkap. Ikan dilepaskan dengan memo-tong tali utama secara serong meruncing. Hasil tangkapan pancing layang-layang selama penelitian berjumlah 40 ekor ikan cendro dan hanya jenis Tylosurus crocodilus; sebanyak 22 ekor tertangkap dengan umpan alami dan 18 ekor tertangkap dengan umpan buatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa t hitung = 0,38 < t tabel 0,05;5 = 2,571; sehingga menerima H0 dan menolak H1, di mana hal ini ini menjelaskan bahwa penggunaan umpan alami tidak berbeda nyata dengan umpan buatan pada pancing layang-layang untuk menangkap ikan cendro di perairan Selat Bangka. Kecepatan angin diukur secara sederhana dengan menerbangkan kertas timah rokok yang diikat dengan tali monofilament nomor 6 sepanjang 5 m. Kecepatan angin juga merupakan faktor yang sangat penting; karena jika angin terlalu lemah, layangan tidak dapat naik ke udara untuk mengangkat umpan; sebaliknya jika angin terlalu kuat, layangan terbang tinggi dan dapat berputar-putar, sehingga ikan tidak tertangkap. Berdasarkan jumlah hasil tangkapan pancing layang-layang, maka umpan alami relatif lebih banyak (22 ekor) dibandingkan dengan umpan buatan (18 ekor), tetapi secara statistik tidak berbeda nyata. Diakui bahwa pemasangan tali laso pada umpan buatan relatif lebih lama dari pada umpan buatan, dan konstruksinya masih perlu penyempurnaan lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
Wijaksono,Bayu Putra Nur. Abdul Kohar Mudzakir. Pramonowibowo. 2014. Analisis Aspek Teknis dan Finansial Alat Tangkap Tonda di TPI Watukarung Kabupaten Pacitan. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology.3 (3):183-189.
La Sudiono. Emil Reppie. Alfret Luasunaung. 2015. Pengaruh umpan buatan terhadap hasil tangkapan pancing layang-layang di Selat Bangka. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2: 6-12.